Jumat, 26 April 2013

Cinta Putih Tak Bersayap


Dua tahun lebih aku tlah berpacaran dengannya, namun dia tak kunjung melamarku. Sedangkan umurku yang semakin dewasa membuat orang tuaku mencarikan jodoh yang terbaik untukku, sebenarnya hubungan ini tak pernah direstui orang tuaku, namun tak pernah ku ceritakan padanya karena aku tak ingin menyakitinya, karena dari awal aku sudah yakin memilihnya tuk jadi pendamping hidupku, jadi apapun yang terjadi aku akan berusaha untuk mempertahankannya. Seiring berjalannya waktu kepercayaanku pudar padanya, karena dia tak seperti dulu lagi, dia berubah tidak seperti pacar yang aku kenal. Namun ku coba untuk tetap bertahan dengan dia karena aku masih menyayanginya, hingga suatu ketika kesalah pahaman terjadi.

Ketika aku sedang berkomentar dengan seorang lelaki di facebook ternyata dia juga sedang membuka facebookku, dia marah karena aku tak membalas smsnya malah facebook-an dengan seorang pria lain. Sontak aku pun bingung, karena sms dia belum masuk di HP-ku, ya mungkin gara-gara HP-ku jadul dan aku berada di desa terpencil jadi sinyal pun susah, akhirnya sms dia terlambat datang. Dia memarahiku, dan satu hal yang membuat aku kecewa adalah ketika dia mengatakan ” Terserah sekarang kamu mau sms-an ataupun facebook-an sama cowok lain, tapi jangan larang-larang aku juga untuk sms-an dengan cewek lain”. Seketika itu kepercayaanku kepadanya pudar, sekalipun aku minta maaf dia tak mau lagi mendengarkanku. Karena terbawa emosi, akupun membuang kartu simku ke saluran air depan rumah dan memblokir akun facebookku untuk selamanya.

Aku terpuruk dalam kesendirian, aku menghilang dari kehidupannya untuk selamanya. Aku merenung dalam sepi, entah menyesal karena telah kehilangan seseorang yang telah menemaniku selama bertahun-tahun, atau senang karena telah melakukan hal yang terbaik yaitu membiarkan dia mencari kebahagiaanya dan melepaskan dia dari kesedihan bersamaku. Berbulan-bulan aku terpasung dalam kediaman, hingga suatu ketika ibu menyampaikan suatu hal padaku “Nak, tak baik untukmu larut dalam kesendirian, usiamu sudah cukup matang untuk menikah nak, sudah banyak ibu menolak lamaran orang, kali ini ibu tak bisa lagi menolak, karena kali ini yang melamarmu adalah anak seorang kyai nak, dia adalah seorang ustadz yang tampan, dia juga sopan, maukah engkau menerima lamarannya?.”

“Tidak bu, aku belum cukup siap untuk terikat dalam suatu ikatan yang halal. Menikah itu bukan masalah yang mudah untukku, apalagi dengan seseorang yang sama sekali tidak aku kenal, apa ibu tega membiarkanku hidup dengan orang asing yang tidak ku cinta?” Jawabku

“Tak ada ibu yang tega melihat anaknya tak bahagia, tapi ibu akan lebih tak tega kamu hidup dalam kesedihan yang berlarut-larut, ibu tau sekarang kamu sudah tak lagi bersama Fathir pacarmu itu. Ibu ingin kamu mendapatkan suami yang dapat membawa kebahagiaanmu hingga ke akhirat nak. Menikah itu ibadah nak, tidakkah engkau ingin beribadah kepada Tuhan yang telah menciptakanmu?”

“Bukannya iffah tak mau beribadah kepada Allah bu, namun sekarang ini Iffah benar-benar belum siap untuk menikah, apalagi dengan orang yang tidak Iffah cinta .”

“Baiklah nak, ibu tak memaksamu lagi, kau pikirkan saja dulu. Tapi ibu sangat berharap engkau mau menerimanya, karena ini adalah keinginan terbesar ibu bisa menikahkanmu dengan seorang pria yang baik akhlaknya.”

Setelah menyampaikan hal tersebut ibu langsung keluar kamar meninggalkanku sendiri, aku benar-benar terganggu dengan kata-kata terakhir ibu. Ibu sangat berharap aku menerima pinangan ustadz tersebut, akankah aku tega mengecewakan hati ibu jika aku menolaknya? akankah aku tega menyakiti hati seorang ibu yang telah banyak berjasa dalam hidupku? sosok yang sangat baik padaku. Tapi aku juga tak bisa mencintai seseorang dengan mudah, apakah aku bisa hidup dengan seseorang tanpa cinta?

Kebimbangan ini mengombang ambingkanku dalam kebingungan, ku coba menghilangkan kebingungan ini dengan menghadiri pengajian umum oleh Ustadz Khotib Sholeh yang diadakan di kampusku. Ternyata tema dalam pengajian ini adalah restu ibu, beliau menerangkan bahwa “ Restu Allah tergantung pada restu Ibu dan murka Allah tergantung pada murka ibu, maka dari itu jangan sekali-sekali membuat ibumu terluka bahkan hanya dengan sebuah kata (ah), berbaktilah pada ibumu selama engkau masih bisa berbakti pada ibumu!”.

Kurang lebih seperti itu ceramah beliau, entah apakah ini sebuah jawaban aku harus menuruti keinginan ibu, aku tak mau menyakiti hati ibu dan aku ingin bisa berbakti pada ibuku.

Pada saat sesi tanya jawab, ku beranikan bertanya pada Pak Ustdaz ” Ustadz, saya mau bertanya semisal saya dijodohkan ibu dengan seseorang yang sama sekali tidak saya kenal dan saya cinta, keputusan apa yang harus saya ambil, menerima atau menolakkah?”

“Sebelum saya menjawab, saya mau bertanya apakah ibu anda seorang yang baik?” Tanya Ustadz Sholeh.

“Tentu ustadz, ibu saya adalah orang terbaik yang saya kenal”

“Jadi jawabannya sederhana yaitu terima, kenapa? karena seorang ibu yang baik pasti akan mencarikan sesuatu yang terbaik untuk anak-anaknya, tak ada satupun ibu yang ingin meghancurkan anak-anaknya kecuali ibu yang gak waras.”

Dari ucapan ustadz tersebut kini kebimbangan mulai hilang, aku sudah punya jawaban untuk ibu. Sesampainya aku di rumah aku katakan pada ibu” Bu, aku terima pinangan ustadz Zakaria yang ibu pilihkan untukku, semoga pilihan ibu adalah pilihan terbaik menurut Allah”

“Benarkah nak? Ibu sangat gembira mendengarnya.” Kata-kata dan senyum ibu menyirami hatiku yang selama ini gersang.

Waktu terasa begitu cepat, undangan telah disebar beberapa hari lagi aku akan menikah dengan ustadz Zakaria. Entah ini nyata atau tidak, aku harus menikah dengan seseorang yang sampai hari ini aku belum pernah melihatnya.

Akhirnya hari H pun telah tiba, “Saya nikahkan engkau Zakaria bin H.Djalaludin dengan putri saya Khalifatunnisa’ binti Suyanto dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas 99gram dibayar tunai” Kalimat ijab yang diucapkan oleh ayahku sendiri sebagai wali dalam pernikahanku dan Ustadz Zakaria pun menjawab dengan tegas” Saya terima nikah dan kawinnya Khalifatunnisa’ binti Suyanto dengan mas kawin tersebut dibayar tunai”. Ijab qabulpun telah diucapkan di depan penghulu dan disaksikan oleh beberapa keluarga membuat suasana berjalan dengan khidmat.

Kini aku resmi menjadi istrinya, ku lihat dia untuk pertama kali dari jarak yang sangat dekat , ku cium tangannya sebagai tanda hormat seorang istri pada suami, dia mengecup keningku dengan rasa sayang. Dia memang sosok yang tampan, tapi entah kenapa tak ada getar-getar cinta seperti saat aku jatuh cinta pada pacarku yang dulu. Aku menangis sedih,haru serta takut, karena mulai hari ini hidupku tak lagi bergantung pada orang tua, kini aku harus memikul kehidupanku sendiri bersama suami dan menjalankan semua kewajiban pada suamiku.

Malam haripun telah tiba, saat para pengantin baru merasakan bahagia dengan malam pertamanya, aku justru merasa begitu sangat takut karena harus menjalani malam pertama dengan orang yang tak aku cinta, tapi dia sekarang adalah suamiku, kewajibanku adalah melayaninya lahir dan batin. Aku duduk terdiam di sudut kasur mengahadap jendela, dia mendekatiku dan memelukku dengan erat, aku sangat takut hingga tubuhku menggigil bercucuran keringat dingin.

“Kenapa dek?”

 “Tidak apa-apa mas” Jawabku dengan suara yang sedikit terbata-bata karena takut.

“Apakah engkau takut denganku? Aku paham jika engkau belum siap untuk melaksanakan kewajibanmu sebagai istri, karena selama ini kita tak saling kenal satu sama lain.”

“Maaf mas, jujur memang aku takut. Bukan maksudku untuk tidak menghargaimu mas, tapi maaf untuk saat ini aku belum bisa menjalankan kewajibanku sebagi seorang istri yang baik untukmu” Jawabku.

“Kau tidak usah merasa bersalah, aku hargai perasaanmu, aku paham wanita memang sulit menumbuhkan rasa cinta, aku menikah juga tidak hanya memburu nafsu belaka, aku akan setia menunggu hingga engkau bersedia untuk ku jamah, bagiku mencintaimu tidak harus dengan beribadah di ranjang saja, tapi juga dengan membimbingmu untuk mengenal dan mencintai-Nya lebih dekat dan lebih besar dari cinta terhadap duniawi.”

“Terima kasih mas, mas udah mau mengerti aku”. Ujarku, ternyata dia memang sosok lelaki yang benar-benar baik dan pengertian.

Berhari-hari, bahkan berbulan-bulan ku jalani hidup bersama suamiku, namun sampai hari ini aku belum melaksanakan kewajibanku sebagai seorang istri, suamiku sama sekali belum pernah menjamahku, namun dia selalu setia menunggu hingga aku merasa siap untuk melakukan hal itu dengan dia.

Setiap hari dia mengajakku untuk shalat berjama’ah, setiap selesai sholat maghrib dia mengajariku mengaji. Dia memang sosok suami yang begitu sempurna, tapi entah kenapa sampai hari ini pula rasa cinta belum Allah anugerahkan untukku.

Suatu ketika di malam hari tak sengaja ku terbangun dalam tidur, ku lihat suamiku tak ada disampingku. Aku keluar untuk mencarinya, ternyata dia sedang melakukan sholat tahajjud di ruang sholat. Tanpa sengaja ku dengar doanya “ Ya Allah terima kasih engkau telah memberikanku istri yang baik seperti dia, istri yang selalu menemaniku disetiap ibadah kepada-Mu, istri yang juga mencintai-Mu. Aku bersyukur ya Allah, engkau telah banyak memberikanku nikmat yang tak terhingga. Ya Allah bimbinglah hamba dijalan lurus-Mu, agar hamba dapat menjadi imam yang baik untuk istri hamba.Aamiiiin”

Mendengar doanya tanpa kusadari tetes air mata meneteskan rasa haru, sungguh baik ibuku memilihkan seorang imam yang begitu anggun akhlaknya, pengertian serta besar kasih sayangnya. Akupun langsung mengambil air wudlu dan menunaikan sholat sepertiga malam di belakang suamiku dengan mengenakan mukena merah mudaku.

Ketika suamiku beranjak dari duduknya dia terkaget melihatku yang sudah dibelakangnya, aku langsung mencium tangannya dan memeluk dia erat sampai beberapa saat hingga suasana terasa begitu hening, lalu ku beranikan berkata padanya” aku siap menunaikan kewajibanku sebagai istrimu malam ini”

“Benarkah kau mau? apakah engkau sudah merasa yakin” Tanya suamiku.

“Insya Allah aku siap mas”. Jawabku, meski masih ada keraguan untuk melakukan dengan orang yang tak aku cinta, tapi aku telah merasa cukup yakin meski hanya bermodal kekagumanku kepadanya. Yang aku pikirkan saat ini, aku adalah istrinya kewajibanku adalah melayaninya, menjalankan kewajiban sama saja mendekatkan diri kepada Allah, aku tak ingin menjadi istri yang dilaknat Allah.

Kami menuju kekamar, dia mulai memelukku dengan mengucap bismillah, sungguh dia sosok suami yang begitu mengagumkan, beruntung aku memilikinya. Dia mulai menjamahiku hingga tabir keperawananku ku buka untuk pertama kalinya untuk ku persembahkan pada suamiku.

Ketika adzan shubuh berkumandang aku bergegas mandi dan melakukan ritual sehari-hari yakni berjama’ah shubuh bersama suamiku. Aku melihat wajah semringah terpancar dari wajah suamiku, baru pertama kali aku melihat dia penuh dengan aura kebahagiaan. Bahagianya aku telah menunaikan kewajibanku sebagai seorang istri, meskipun aku sedikit merasa risih dengan semua ini. Namun dia sekali lagi mencoba membuatku tenang, dihari-hari selanjutnya pun dia tak pernah meminta lagi, mungkin karena takut aku marah.

Hari-hari berjalan seperti biasa, entah kenapa ketika ku lihat wajah suamiku hatiku terasa begitu damai, apakah aku sedang jatuh cinta padanya, perasaan ini semakin aneh saja, aku merasa senang jika memandangnya berlama-lama, ternyata memang benar Allah telah menurunkan anugerah cinta padaku. Hingga di suatu malam aku beranikan untuk berbicara padanya ”Mas, saat ini aku telah merasakan cintaku mulai tumbuh untukmu, mulai saat ini ku serahkan seluruh hidupku untuk dirimu, tak perlu kau sungkan-sungkan lagi jika ingin menjamahiku, karena sepenuhnya aku ini telah menjadi milikmu, akupun ingin menjalankan kewajibanku menjadi istri seutuhnya murni karena Allah.”

“Subhanallah, kata-katamu begitu menyentuh hati dek. Alhamdulillah Allah telah memberikanku istri yang anggun seperti dirimu”

Sejak saat itu kehidupan kami berjalan dengan sempurna, kewajibanku ku laksanakan dengan semestinya. Tiga bulan kemudian Allah menganuegrahkan rizki yang teramat besar pada kami, aku hamil 2minggu. Mengetahui hal ini suamiku sangat senang dan semakin sayang padaku, dia memperlakukanku bak puteri raja. Tahun ini memang tahun yang begitu indah buatku, tahun ini juga aku di wisuda S1 dengan predikat sebagai mahasiswa terbaik jurusan. Kabar bahagianya aku mendapatkan beasiswa studi S2 di salah satu universitas negeri ternama di kota Bandung.

Dengan seizin suami aku melanjutkan kuliah S2, setiap hari aku di antar jemput oleh suami, karena mengingat usia kandunganku yang masih muda, suamiku sangat over protective padaku.

Hari ini ada seminar seluruh fakultas di kampusku, pagi-pagi suamiku mengantarkanku berangkat ke kampus, karena aku merupakan salah satu panitia, aku bertugas sebagi MC dalam acara seminar ini.

Alhamdulillah acara seminar berjalan dengan lancar, ketika aku hendak keluar ruangan tiba-tiba ada suara seorang pria yang memanggilku “Iffah”. Akupun menoleh ke belakang dan menengok suara pria yang memanggilku tadi, aku kaget ternyata dia...

“Hay, masih ingatkah kau denganku?” Tanya pria itu.

Ternyata dia adalah Fathir, mantan pacarku. ”Hay juga, kok kamu disini?” Tanyaku padanya.

“Aku kuliah disini juga, aku hampir gak percaya waktu kamu memperkenaklan diri di depan podium tadi. Aku gak percaya kita bisa ketemu lagi disini yah, gimana kabarmu?” Tanya Fathir

“Alhamdulillah kabarku baik, kamu sendiri gimana kabarnya?” Tanyaku balik.

“Sejak putus denganmu hidupku jadi gersang, sungguh sangat menyesal aku memutuskanmu, waktu aku ingin meminta maaf dan mengajak kamu balikan ternyata nomormu sudah gak aktif.” Jawab dia

“Sudahlah itu kan masa lalu, jangan lagi kau mengungkit-ungkitnya yang terpenting kita harus selalu berusaha untuk jadi lebih baik.” Sahutku

“Kau semakin dewasa yah, kau juga semakin manis dan cantik.” Kata Fathir

“Ah kau bisa saja, usiaku kan sudah bertambah jadi selayaknya aku harus lebih bijak dalam menjalani hidup.” Kataku padanya

“Tapi sumpah Fah, sampai hari ini aku masih cinta sama kamu, sudah lama aku mencarimu tapi tak pernah ku tau kabarmu, apa kau sudah punya pacar baru sekarang?” Tanya Fathir

“Kamu tuh ngomong apa toh, sejak putus dari kamu aku udah gak kenal yang namanya pacaran” Jawabku

“Jadi kamu sekarang masih jomblo, berarti aku masih ada kesempatan untuk kembali padamu kan?” “Kamu tambah ngaco aja deh, aku emang gak punya pacar tapiiii aku punya suami, masa’ kamu gak liat perut buncitku ini, aku hamil sekarang.” Jawabku

“Apaaa? Kamu udah menikah? Segitu cepatnya kamu nglupain aku?”

“Apa sih kamu, aku kira setelah kita putus kamu bisa jadi lebih dewasa ternyata malah kayak anak2.” Sahutku dan seraya meninggalkan dia.

“Iffah tunggu aku, aku minta maaf tolong jangan tinggalin aku untuk yang kedua kali aku mohon berhentilah” Pinta dia, namun aku tak mempedulikannya.

Aku terus berjalan hingga tiba-tiba hapeku berdering ” Assalamu’alaikum, ada apa mas?Ya udah mas gak apa-apa, mas gak usah terlalu khawatir sama aku”. Ternyata itu telpon dari suamiku dia memberitahuku untuk pulang naik taksi saja, karena hari ini mobilnya bannya bocor jadi dia tak dapat menjemputku.

Fathir masih mengikutiku dan berulang kali dia meminta maaf, akhirnya akupun berkata “aku tak pernah marah denganmu, jadi kau tak usah meminta maaf seperti itu malu dilihat orang.”

“Tadi yang telpon suamimu ya?” Tanya Fathir.

“Iya”.

“Kalau boleh tau kenapa?” Tanya dia.

“Suamiku tak dapat menjemputku karena ban mobilnya bocor.”Jawabku.

“Wah kebetulan sekali, maukah kau ku antar pulang? Sekalian aku ingin bertamu ke rumahmu ada banyak yang ingin aku bicarakan sama kamu.”

“Maaf sekali suamiku tadi memberiku amanah untuk naik taksi, jadi maaf aku tak dapat pulang denganmu, apalagi kita bukan muhrim, jadi takut timbul fitnah.” Kataku pada Fathir

“Sebegitu bencinya kah kau denganku hingga niat baikku tak kau iyakan.”

“Bukan begitu maksudku, aku hanya ingin menghindari fitnah. Ini juga untuk kebaikan kita bersama.”

“Baiklah kalau begitu, jika kau tak mau tak apa-apa, tapi izinkan aku untuk mengantarmu hingga depan gerbang kampus.”

Kita berjalan tanpa sebuah kata apapun terucap, hingga aku mendapatkan taksi aku ucap “Asssalamu’alaikum” sebagai akhir kata perjumpaan kita.

Sesampainya di rumah aku kepikiran dengan Fathir kembali, entah apa yang sedang aku rasakan ini. Aku tak boleh masih menyimpan rasa untuknya, sungguh jika ini terjadi aku akan sangat berdosa pada suamiku. Aku teringat akan buku diary yang selama ini ku tulis, tentang semua rasaku pada Fathir, tentang perjalanan rasa ini. Aku berniat untuk membakarnya sebelum suamiku pulang, aku tak mau menyakiti hati suamiku dengan buku harian tersebut.

Ketika aku sedang mencari-cari di tas, ternyata buku harian itu sudah tak ada. Aku ingat-ingat kembali dimana aku menaruhnya, teringat terakhir kali aku melihat buku tersebut ketika aku menggunakannya untuk alas menulis susunan acara pada acara seminar tadi, mungkin tertinggal di tempat seminar. Keesokan hari aku mencari-cari di ruang seminar, namun aku tak menemukannya. Takut kalau sampai buku itu dibaca orang, tiba-tiba ada seseorang yang berkata “ Apakah kau mencari ini?”

Dia menjulurkan sebuah buku diariku, ketika aku mengangkat kepalaku ke atas ternyata dia adalah Fathir. “Kau” Kataku kaget sambil segera mengambil buku harian tersebut, lalu ku ucap “Terima kasih”.

 Ketika aku hendak pergi, dia berkata “Aku sudah membacanya, sekarang aku tau perasaanmu, kamu masih sayang aku kan? kenapa kamu nekat menikah dengan orang lain yang tak kau cinta? Aku merasa bersalah karena telah membuat hidupmu jadi tersiksa seperti ini, hidup berumah tangga tanpa cinta.”

“Memang aku dulu masih mencintaimu, tapi sekarang rasa itu sudah musnah. Kini aku sangat mencintai suamiku lebih dari aku mencintai diriku sendiri.” Jawabku

“Sudahlah jujur saja kalau kau masih mencintaiku? Kalau kau tak mencintaiku lagi, tak mungkin kau masih menyimpan buku harian yang pernah ku beri untukmu itu. Kembalilah padaku, aku akan menikahimu dan menyanyangimu lebih dari suamimu, bahkan aku mau terima anak yang kau kandung sekarang, sungguh aku sangat mencintaimu” Pinta dia.

“Tau apa kau tentang cinta? Yang kau ucapkan itu bukanlah cinta, tapi hanya sekedar nafsu duniawi semata, aku memiliki seorang suami yang sangat menyayangiku, aku tak akan pernah menghianati cinta serta kepercayaan dia sekalipun aku masih mencintaimu.”

“Tapi apa kau tak akan tersiksa hidup dalam satu atap tanpa cinta, aku sangat menyesal telah menuduhmu dulu, sungguh aku masih sangat sayang padamu.”

“Dulu mungkin iya, tapi setelah aku mengenal dia aku tau bahwa kebahagiaan itu tidak datang dari cinta duniawi semata, aku akan lebih tersiksa jika aku harus memilih cintamu dan mengahancurkan kepercayaannya. Penyesalanmu telah terlambat, cari saja wanita lain yang lebih bisa menyayangimu” Jawabku.

“Tak ada wanita lain yang bisa ku cinta kecuali dirimu, aku sangat mencintaimu. Dari pada engkau menyuruh aku untuk mencari wanita lain, aku lebih memilih untuk menunggu jandamu.” Jawab dia.

“Terserah kau sajalah, Wassalamu’alaikum” Aku langsung bergegas meninggalkannya.

Dia terus saja mengikutiku ”Iffah, tunggu aku! Maafkan semua kesalahanku, kini aku ikhlas melepasmu asal engkau mau berteman denganku, aku tak akan pernah mengganggu hidupmu, tapi aku mohon izinkan aku berteman denganmu, bukankah menjalin silaturrahim adalah perintah Allah? Dan memutus tali silaturrahim itu termasuk dosa.” Kata Fathir padaku

Mendengar kata-katanya tersebut aku langsung berhenti dan berkata “ Baiklah aku mau berteman denganmu, tapi tolong jangan lagi kau menyimpan rasa yang lebih padaku, aku hanya akan menganggapmu sebagai seorang teman.”

“Terima kasih Fah kau mau jadi temanku, tapi jangan pernah kau larang aku tuk mencintaimu, aku berjanji tak akan pernah aku ganggu kehidupan cintamu, aku akan menyimpan baik-baik rasa ini sendiri, kau boleh menganggap aku sebagai teman saja.” Kata Fathir.

Akhirnya kamipun berteman seperti biasa, namun aku sedikit menghindar dan menjaga jarak dengan dia agar dia bisa menghapus rasa cintanya padaku.

Sembilan bulan telah berlalu, tepat pada tanggal 16 september aku dibawa ke Rumah Bersalin Halimatus Sa’diyah karena tanda-tanda akan melahirkan sudah terlihat, suamiku begitu panik karena dia belum pernah mengalami kejadian seperti ini, namun sebagai suami yang baik dia mencoba menenangkanku dan selalu mendampingiku. Proses ini berjalan cukup lama, hingga suamiku tak kuasa menahan air matanya, hingga tetesan air matanya menetes di pipiku dan akhirnya malaikat kecilku pun dapat menghirup udara dunia ini dengan tangisan merdunya.”Alhamdulillah dek, putri kita telah lahir, cantik seperti umi’nya” Kata suamiku.

Proses lahiran berjalan dengan lancar, para keluarga berdatangan untuk mengucapkan selamat. Kagetnya ketika Fathir datang menjengukku bersama ibunya, aku tak tau dari mana dia tau aku di rumah bersalin ini. Ibunya mengucapkan selamat padaku, dan terkejutnya lagi ketika beliau berkata ” Andai saja putri cantik ini adalah cucuku dan engkau adalah menantuku, betapa bahagianya aku. Tapi sayang ini tak akan pernah mungkin karena kebodohan Fathir”

Untung saja ketika ibu Fathir berkata seperti itu suamiku tak ada di ruangan karena dia sedang menebus obat ke apotik, aku tak menyangka Fathir telah menceritakan masa lalu hubungan kita pada ibunya. Dan ketika suamiku datang, Fathir dan ibunya berpamitan pulang padanya, suamiku mengira dia hanya teman kampus biasa, dia tak pernah tau Fathir adalah mantan pacarku.

Begitu sempurnanya hidupku saat ini, aku dikelilingi para malaikat yang sangat menakjubkan. Seorang suami yang baik dan pengertian yang kini ku panggil Abi, serta seorang putri yang cantik dan cerdas yang bernama Nazwa. Namun kebahagiaan ini hanya berjalan 2tahun saja, tiba-tiba sebuah cobaan menimpa keluarga kami. Suamiku mendapatkan kecelakaan mobil ketika pulang dari kerja, hingga kedua matanya harus mengalami kebutaan.

Betapa shocknya diriku mendengarnya, namun ku coba untuk tetap bersabar. Suamiku tampak begitu sedih bukan karena cobaan yang diterimanya, tapi karena merasa dia tak layak lagi sebagai imam dalam keluarga kami.

“Umi, kini abi merasa tak sanggup lagi. Bukan maksud abi tak ikhlas menerima cobaan ini, tapi abi merasa tak pantas lagi bersanding disamping umi. Kini abi hanya seorang lelaki tak berdaya yang tak pantas lagi menjadi imam dalam keluarga kita. Jadi sebaiknya umi hidup dengan orang lain yang bisa menjadi imam yang sempurna dalam hidup umi. Dan abi merasa dek Fathir adalah orang yang tepat untuk umi.” Kata suamiku.

“Abi, tega sekali abi berkata seperti itu pada umi. Abi pikir umi berumah tangga hanya untuk mencari imam yang sempurna? Bagi umi kesempurnaan itu ketika kita mampu menerima pasangan kita apa adanya. Abi selalu menyayangi dan setia pada umi itu sudah cukup sempurna dimata umi. Tak pernah terfikir dibenak umi untuk mencari pengganti abi sekalipun abi telah tiada, karena cinta dan sayang umi hanya untuk abi setelah cinta umi pada Allah. Kok bisa abi berkata Fathir pantas untuk umi, maksud abi apa berkata seperti itu?” Kataku sambil meneteskan air mata sedih.

“Maaf mi, abi tanpa sengaja telah membaca buku harian umi. Abi baru sadar ternyata abi telah memisahkan cinta umi pada Fathir, dan abi merasa kini saatnya bagi abi untuk mengembalikan kebahagiaan umi yang pernah hilang. Abi sudah tak mampu lagi memberikan kebahagiaan pada umi, abi sekarang sudah cacat.”

“Abiii, maaf kalau umi masih menyimpan buku harian itu, sebenarnya umi sudah lama ingin membakarnya, tapi umi belum ada waktu. Demi Allah sekarang umi sudah tak lagi mencintai Fathir, buku harian itu hanyalah sebuah catatan masa lalu sama seperti halnya cinta umi pada Fathir hanya sebuah rasa di masa lalu, kini satu-satunya lelaki yang umi cintai hanya abi. Sekalipun abi cacat, tak pernah umi merasa kecewa memiliki abi, dimata umi abi itu sosok imam yang sudah sangat sempurna.” Kataku menenangkan hati suamiku.

Tiba-tiba Fathir datang”Assalamu’alaikum”

“Wa alaikum salam” Jawab kami.

“Kamu” Kataku kaget yang tak mengetahui Fathir sudah ada didepan pintu, mungkin dia sudah mendengarkan pembicaraan kita sedari tadi.

“Siapa mi?” Tanya suamiku.

“Fathir mas” Jawab fathir.

“Oow Fathir, silahkan masuk.“ Kata suamiku

“Iya mas, saya turut bersedih dengan musibah ini, semoga mas dan keluarga dapat menerima dengan sabar.” Kata Fathir.

“Iya Thir, makasih ya udah menjenguk.” Jawab suamiku

“Aku ingin berbicara berdua dengan Fathir mi, bisakah umi keluar sebentar.” Perintah suamiku.

“Iya bi.” Jawabku menurut saja karena itu adalah perintah suamiku, aku tak berani menolak meskipun sebenarnya aku penasaran apa yang akan dibicarakan suamiku dengan Fathir, hingga aku disuruhnya keluar.

Akupun membiarkan mereka berdua berbicara empat mata dan aku keluar untuk membeli minum untuk mereka berdua.

Sekembali dari membeli air minum aku melihat suamiku dan Fathir begitu akrab mengobrolnya. “Assalamu’alaikum” Salamku.

“Wa alaikum salam” Jawab mereka berdua.

“Sudah bolehkah umi masuk?” Tanyaku pada suamiku

“Iya mi, silahkan masuk.” Jawab suamiku

Akupun masuk dan memberikan air minum pada mereka, tak lama setelah itu Fathir berpamitan pulang. Aku bertanya pada suamiku” Apa yang sudah abi bicarakan dengan Fathir? Bukan yang masalah tadi kan?” Tanyaku.

“Sebenarnya memang masalah tadi mi, abi mencoba mencarikan kebahagiaan umi.”Jawab suamiku.

“Abi ini kenapa sih? Apa abi sudah tak cinta umi lagi sehingga abi harus mencarikan pengganti abi?”

“Bukan begitu umi, abi hanya ingin memberi yang terbaik pada umi. Tapi sayang Fathir tidak bersedia, dia bilang dia tak akan pernah bisa memberikan yang terbaik seperti abi, meskipun bisa kebahagiaan itu tak akan berlangsung lama.”

“Syukurlah kalau begitu, memang benar tak akan ada yang bisa memberikan umi yang terbaik selain abi.” Kataku pada suamiku, tapi aku sedikit heran pada Fathir, kenapa dia sekarang bisa berpikir dewasa begitu, padahal kemarin-kemarin dia sangat terobsesi untuk memilikiku. Sudahlah aku bersyukur dia sudah berubah lebih dewasa, semoga dia segera mendapatkan yang terbaik.

Minggu demi minggu ku lalui bersama suamiku dengan kehidupan barunya, selain mengasuh Nazwa putriku, aku juga merawat suamiku. Aku mengajari suamiku untuk mengenal dunia barunya, dimana penglihatan bukan menjadi cara utama untuk melihat dunia, tapi melalui hati dan perasaan yang akan menuntun untuk memahami dunia gelapnya. Dari cobaan ini, aku mendapatkan hikmah untuk belajar bersabar dan lebih bisa memahami suami yang selama ini telah memahamiku.

Hingga suatu ketika ada telpon dari Rumah Sakit Medika bahwa ada seorang pasien penyakit kanker otak yang telah meninggal yang bersedia mendonorkan kedua matanya untuk suamiku, kami berdua sangat senang mendengar kabar baik ini, namun di sisi lain kitapun bersedih mendengar bahwa orang tersebut telah meninggal. Sungguh baik orang tersebut, disaat nafasnya tak lagi bisa berhembus namun dia tetap bisa bersedekah dengan matanya tersebut. Kami bergegas menuju rumah sakit untuk menjalani transplantasi mata, 2½ jam operasi dilakukan dan Alhamdulillah operasi berjalan dengan lancar, betapa bahagianya aku melihat suamiku kembali dapat melihat kemilau alam Sang Maha Kuasa.

“Dok, siapakah pendonor baik hati yang telah mendonorkan matanya untuk suamiku?” Tanyaku pada dokter.

“Dia sudah meninggal.” Jawab dokter.

“Saya sudah tau dok, yang saya maksud namanya, agar kami dapat mengucapkan terima kasih pada keluarganya.” Tanyaku lagi.

“ Pendonor tidak ingin diketahui identitasnya, jadi kalian bersyukur saja sama Tuhan dan doakan semoga almarhum pendonor mendapatkan tempat yang layak disisi-Nya.” Jawab dokter yang merahasiakan identitas sang pendonor.

“Baiklah dok, terima kasih.”

Akhirnya suamiku dapat melihat lagi, tiba-tiba ada suara orang yang mengetuk pintu dimana suamiku masih harus dirawat di rumah sakit.

“Assalamu’alaikum” Suara seorang laki-laki dibalik pintu kamar rumah sakit.

“Wa alaikum salam” Jawab kami.

“Ada apa mas?” Tanyaku

“Ini ada kiriman bunga dan buku dari seseorang” Jawabnya

“Dari siapa?” Tanyaku

“ Disini tertulis nama Pak Fathir” Jawab orang tersebut.

Aku tanda tangani tanda terima, dan ketika ku lihat ternyata benar ini semua kiriman dari Fathir. Dia mengucapkan selamat, dan ada selembar surat yang ia selipkan diantara lembaran-lembaran buku kosong, aku tak mengerti apa maksud dia.

“Dari siapa mi?” Tanya suamiku.

“Dari Fathir bi, kenapa harus dikirimkan ya? aneh dia mengucapakn selamat dengan bunga dan sebuah buku kosong, tapi ini ada sebuah surat. Abi mau baca sendiri atau umi bacakan?”

“Umi bacakan aja ya, soalnya mata abi belum kuat untuk fokus pada bacaan.”

“Iya bi” Jawabku, aku langsung membacakan surat tersebut:

Untuk Sahabatku Iffah dan Mas Zakaria 

Assalamu’alaikum wr.wb.

Sebelumnya saya minta maaf saya tak bisa datang untuk mengucapkan selamat atas kesembuhan Mas Zakaria secara langsung, melalui surat ini semoga sudah mewakili kehadiran saya untuk turut serta merasakan kebahagiaan Mas Zakaria. Kalian pasti akan bertanya-tanya kenapa aku memberikan sebuah buku kosong untuk kalian, sebenarnya maksudku memberikan buku itu agar kalian dapat menuliskan kisah indah kalian setiap saat dibuku tersebut. Kalian rangkai setiap perjalanan kisah kalian kedalam bait-bait tulisan yang indah, agar jika suatu ketika ada suatu cobaan yang datang kalian dapat menyikapinya dengan dewasa dan bijaksana, agar kalian selalu ingat akan lika-liku keindahan romantisme bahtera rumah tangga kalian. Apalagi kini kalian telah memiliki Nazwa yang begitu lucu dan menggemaskan, pasti tak cukup satu buku untuk menceritakan kebahagiaan tersebut. Buku ini mewakili kebahagiaanku melihat keharmonisan keluarga kalian, semoga kalian akan menjadi keluarga yang diberkahi Allah selamanya. Untuk Mas Zakaria aku titipkan sahabatku Iffah, jagalah dia baik-baik, jangan biarkan ia menangis sedih, jadilah imam yang diridhoi Allah. Aku yakin Mas Zakaria dapat membawa kebahagiaan untuk Iffah baik didunia maupun di akhirat. Untuk sahabatku Iffah jangan lagi jadi wanita yang cengeng, engkau harus lebih tegar dan sayangilah Mas Zakaria sepenuh hatimu, karena aku yakin kasih sayang Mas Zakaria begitu besar untukmu, kini aku merasa lebih tenang untuk melepasmu.

Salam sayangku untuk keluarga kalian. 

Wassalamu’alaikum wr.wb.

                                                                                                               FATHIR

Membaca surat Fathir hatiku serasa runtuh dengan kata-katanya, begitu dewasa ia kini. Aku bangga memiliki mantan serta sahabat seperti Fathir.

Sejak saat itu, aku mulai gemar menulis hingga akhirnya aku selalu mencoba-coba ikut serta dalam kontes menulis online, karena begitu seringnya aku menjadi juara kontes menulis, kini namaku melambung tinggi sebagi seorang penulis terkenal. Aku dan suami merasa bersyukur, dari penghasilan menulisku aku mampu membiayai beberapa anak yatim di Ponpes milik mertuaku. Kesuksesanku membuatku teringat pada Fathir, berkat sebuah kado istimewanya kini aku menjadi seorang penulis terkenal. Aku dan suami mencoba mencari Fathir di kediamannya, ibunya menyambutku dengan hangat.

“Bu, kami kesini ingin bertemu dengan Fathir. Dimanakah Fathir berada? kok sudah lama tak pernah mengabari kita lagi, saya ingin memberikan kumpulan karya saya padanya sebagai ucapan terima kasih atas hadiahnya dulu.”Tanyaku pada ibu Fathir

Tiba-tiba ibunya Fathir menangis, lalu beliau menjelaskan bahwa Fathir telah meninggal, dia mengidap penyakit kanker otak.Seketika kami teringat dengan pendonor misterius itu, lalu kami menanyakan hal tersebut pada ibu Fathir.

“Bu, apakah Fathir yang telah mendonorkan kedua matanya untuk saya?” Tanya suamiku.

“Iya nak, namun dia tak ingin kalian tau, hingga ibu harus merahasiakan semua ini selama ini.” Jawab ibu Fathir.

Seketika itu Susana menjadi hening, lalu ibu Fathir menyuruh kami untuk menunggu. Beliau mengambilkan kami sebuah buku putih yang tertulis”KICAUAN CINTA FATHIR”

“Buku ini adalah buku harian Fathir, ibu merasa hanya kamu Fah yang pantas untuk membacanya, ibu terlalu takut membaca buku itu karena buku itu akan membuat ibu tak pernah bisa merelakan kepergian Fathir, jadi ku berikan buku ini untuk kamu nak. ”Cerita ibu Fathir sembari memberikan buku harian itu padaku.

“Ibu yang sabar ya, semua yang terjadi itu sudah menjadi kehendak yang kuasa. Allah lebih tau yang terbaik untuk kita, meskipun terkadang kita merasa itu tak baik.”

“Iya nak, ibu tau maka dari itu ibu memberikan buku itu agar ibu bisa merelakan kepergiannya untu selamanya.”

“Baiklah bu saya terima buku ini, kami hanya bisa mendoakan semoga almarhum Fathir diterima di sisi-Nya. Kami permisi mau pamit pulang ya bu.”

“Iya nak,terima kasih atas kunjungannya. Lain kali berkunjunglah kemari lagi, ibu sangat senang atas kedatangan kalian, lain kali ajak juga puterimu Nazwa, Fathir sering menceritakan puteri kecilmu.”

“Baiklah bu, Assalamu’alaikum.”

“Wa alaikum salam.”

Sesampainya di rumah aku baca buku harian Fathir bersama dengan suamiku, sungguh buku harian Fathir membuat hati kami begitu tersentuh. Baru aku tahu ternyata cinta Fathir padaku begitu tulus dan agung, hingga ia relakan kedua matanya untuk melihat aku bahagia bersama suamiku. Dan catatan terakhir yang sangat menyentuh hatiku adalah
“ Aku tau aku mencintainya, akupun tau aku sangat ingin memilikinya, namun aku harus melepasnya, bukan berarti aku tak cinta, tapi hanya dengan melepasnya aku merasakan cinta sesungguhnya, membiarkan ia bahagia dengan orang yang dia cinta. Dan biarlah cintaku padanya hanya bersemi dihati ku saja bersama cintaku pada Sang Pencipta, kan ku jaga rasa ini sendiri hingga kematian yang kan menyapa.


Sebagai rasa terima kasih serta untuk menghargai almarhum Fathir, aku dan suami berziarah ke makam Fathir dan ku tinggalkan setangkai mawar putih sebagai pengormatan terakhir untuk sahabat yang sangat aku sayangi. Ku tulis ulang buku hariannya, ku terbitkan bukunya dan tak ku sangka bukunya menjadi bestseller di beberapa toko buku ternama dan seluruh uang royalti dari hasil penjualan buku sepenuhnya aku sumbangkan ke Panti Asuhan atas nama Fathir. Selamat Jalan Fathir semoga engkau bahagia di sisi-Nya.

2 komentar: